Menilik Kembali Jejak Sejarah Pulau Abang Kecil
Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarung luas Samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Lagu itu seketika melintas di pikiran saya ketika berada di atas kapal pompong yang akan menuju ke Pulau Abang Kecil. Tempat ini menjadi tujuan saya dan rekan-rekan untuk sebuah gerakan pembelajaran pemberdayaan masyarakat dari kampus kami, di Yogyakarta. Kami adalah Tim KKN-PPM UGM periode 2 tahun 2023 yang ditugaskan di pulau ini. Perjalanan dari Yogyakarta sampai Batam kami tempuh sejak dua hari lalu, 24 Juni 2023. Kami singgah satu hari di salah satu hotel di Batam sebelum menuju ke Pulau Abang Kecil.
Indonesia memang negara kepulauan, dan Kepulauan Riau adalah salah satu provinsi dengan gugusan pulau terbanyak. Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam salah satunya. Luasnya laut dan birunya air menghipnotis diri saya yang jarang berkunjung ke daerah pesisir. Indahnya pemandangan seketika melunturkan rasa lelah selama perjalanan. Inilah awal kami datang ke Pulau Abang Kecil. Kami harus segera beradaptasi dengan lingkungan baru, pikir saya. Karena, jika biasanya menggunakan kendaraan bermotor di darat, mungkin selama masa penugasan kami akan lebih banyak menggunakan kendaraan bermotor di air untuk mobilitas. Tentu saja hal itu adalah suatu hal baru bagi kami yang berasal dari daratan Pulau Jawa.
Sesampainya di pelabuhan, kami disambut oleh Bapak dan Ibu asuh yang rumahnya akan menjadi tempat kami menginap selama kurang lebih dua bulan lamanya. Selain itu, anak-anak juga sangat antusias dengan kedatangan kami. Pelabuhan kecil dan jembatan dengan pagar warna-warni seakan juga menyambut kami dengan berkata “inilah tempat kalian bertugas”. Tim kami terdiri dari enam mahasiswa laki-laki dan sembilan mahasiswa perempuan. Para mahasiswa laki-laki menginap di homestay Pulau Abang, sedangkan mahasiswa perempuan tinggal di rumah Pak Jamal dan istrinya.
Pepatah mengatakan ”di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Untuk bisa menyesuaikan diri, sudah seharusnya mulai mengenal budaya masyarakat setempat. Lahirnya sebuah budaya erat kaitannya dengan nenek moyang terdahulu, karena budaya terbentuk dari kebiasaan yang telah turun-temurun dari generasi ke generasi. Jika budaya merupakan sebuah identitas, tidakkah lebih penting untuk mengetahui asal-usulnya terlebih dahulu? Untuk mengetahui asal-usul budaya sebagai identitas etnis, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan melihat ulang jauh ke belakang tentang nenek moyang. Karena nenek moyang lah yang berperan besar dalam pembentukan suatu budaya.
Teringat lagu berjudul “Nenek Moyang” di atas, membuat saya bertanya-tanya apakah nenek moyang masyarakat Pulau Abang adalah seorang pelaut? Dengan identitas mereka sebagai masyarakat nelayan. Setelah sampai di permukiman penduduk, rasa keingintahuan itu kembali muncul dan memotivasi saya untuk mencari tahu lebih lanjut bagaimana jejak sejarah di Pulau Abang Kecil ini.
Setelah kurang lebih satu minggu lamanya saya menetap di Pulau Abang, saya mulai terbiasa dengan lingkungan di sini. Setiap hari mengamati kehidupan sosial masyarakat setempat dengan budaya melayunya, melatih saya untuk beradaptasi lebih cepat. Pak Jamal, bapak asuh di pondokan perempuan, sangat ramah dan baik hati sehingga saya pun cepat akrab dengan beliau. Setiap pagi Pak Jamal selalu duduk di lantai dua dekat kamar penginapan kami, sembari minum teh panas atau membuat jaring untuk melaut. Saya pun mengobrol dengan Pak Jamal dan bertanya terkait cerita-cerita sejarah di Pulau Abang.
"Orang pertama yang datang ke pulau ini adalah Batin Limat. Makamnya di dekat masjid. Maka dari itu, jalan di sana diberi nama Jalan Batin Limat. 'Batin' adalah sebutan untuk kepala desa pada saat itu. Selebihnya saya kurang paham karena orang tua saya dulu tidak menceritakan hal-hal terkait sejarah Pulau Abang", tutur Pak Jamal mengawali cerita tentang sejarah Pulau Abang.
Karena Pak Jamal kurang tahu detail mengenai sejarah di sini, maka beliau mengajak saya berkunjung ke rumah orang-orang tua di desa dengan harapan lebih mengetahui asal-usul sejarah di Pulau Abang. Orang pertama yang kami kunjungi adalah Long Penye atau Kakek Penye. Beliau berusia 90an tahun, dan sayang sekali tiga hari yang lalu beliau didiagnosis menderita demensia sehingga tidak bisa bercerita sejarah Pulau Abang. Padahal, beliau adalah seseorang yang diyakini paling tahu tentang kisah Batin Limat membangun sebuah desa Pulau Abang Kecil.
Orang kedua adalah Pak Labu, beliau berusia sekitar 70-80an tahun. Pak Labu masih satu garis keturunan dengan Batin Limat. "Saya adalah generasi ketiga dari keturunan Batin Limat", kata beliau. Namun, sayang beliau juga tidak bisa bercerita banyak karena saat itu beliau masih kanak-kanak. Lagi-lagi saya mendengar kalimat bahwa orang tua dahulu tidak menceritakan hal itu sampai mereka mengakhiri hidupnya di Pulau Abang ini.
Orang ketiga adalah Nenek Pagi yang saya temui di jalan ketika hendak ke rumah Bu Aisyah. Nenek Pagi terlihat seperti berusia 80-an tahun. Saya kurang memahami apa yang disampaikan beliau karena berbicara sangat cepat dengan bahasa Melayu. Saya hanya mengerti bahwa intinya Nenek Pagi menyebutkan daftar anak-anak dari Batin Limat, tetapi hanya beberapa karena beliau juga tidak hafal. Yang beliau tahu hanya nama-nama panggilan dari keturunan Batin Limat, bukan nama aslinya.
Selanjutnya, Pak Jamal mengajak saya ke rumah Bu Aisyah. "Bu Aisyah itu punya catatan nama-nama keturunan Batin Limat. Coba kita tanya kesana", ajak Pak Jamal. Rumah Bu Aisyah tidak jauh dari rumah Pak Jamal karena hanya selisih beberapa rumah. Pak Jamal terlebih dahulu masuk untuk mencari keberadaan Bu Aisyah, sedangkan saya menunggu di ruang tamu. Pak Jamal dan Bu Aisyah keluar bersamaan sembari mengobrol dengan bahasa melayu yang sangat fasih sehingga saya kesulitan menangkap maksud dari pembicaraan mereka. Ketika Pak Jamal menghampiri saya, Bu Aisyah masuk ke dalam kamar sebelum akhirnya menghampiri kami dengan membawa buku catatan berukuran F4 atau folio yang terlihat sudah koyak termakan waktu.
“Saya ada catatan daftar nama anak-anak dari Batin Limat, tetapi tidak lengkap karena dulu saya hanya mencatat bagian paling pokok yaitu nama-nama anak Batin Limat. Jadi, catatan saya tidak mencakup semua daftar garis keturunan Batin Limat. Dulu waktu saya mencatat ini juga tidak berpikir bahwa jejak cerita tentang Batin Limat dan garis keturunannya akan dipakai di kemudian hari. Sehingga saya hanya mencatat nama anak-anak beliau karena saya pikir saya juga harus tau daftar tetua di Pulau Abang ini”, jelas Bu Aisyah mengawali pembicaraan kami.
Batin Limat diyakini sebagai orang pertama yang datang ke Pulau Abang Kecil dan membangun peradaban hingga kini menjadi Kelurahan Pulau Abang. Kabarnya, beliau bersama keluarganya tinggal di Pulau Ranoh sebelum akhirnya pindah ke Pulau Abang karena krisis air. Beliau pindah kesini bersama para anaknya, karena istrinya telah meninggal terlebih dahulu dan dimakamkan di Ranoh. Batin Limat memiliki tujuh anak, yaitu Salmah (Nek Celik), Tumpang (Nek Teh), Sarijah (Nek Ce), Tubun (Nek Tubun), Ica (Nek Ica), Nurdin (Atok Nurdin), dan yang terakhir adalah Galang (Nek Galang). Garis keturunan Batin Limat tidak tertuliskan dengan jelas. Hanya anak-anak dari Nurdin yang diketahui oleh masyarakat Pulau Abang saat ini, yaitu Sambang dan Nurmui
.Batin Limat dan anak-anaknya dimakamkan di Pulau Abang, kecuali Nurdin di Pulau Karas. Kini, nama-nama tetua itu dijadikan nama-nama jalan di Pulau Abang. Selain untuk mempermudah mengetahui lokasi suatu tempat, juga sebagai pengingat atas nama-nama tetua agar tetap lestari. Jejak sejarah Pulau Abang Kecil tidak berhenti sampai di situ. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata keberadaan Batin Limat dan perpindahannya pun ada sangkut pautnya dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Riau. Masyarakat Pulau Abang meyakini bahwa Batin Limat berasal dari Kerajaan Penyengat di Pulau Penyengat. Tempat itu adalah singgasana Yang dipertuan Muda atau penasihat Sultan Riau Lingga yang berkedudukan di Pulau Lingga.
Kerajaan di Kepulauan Riau mencangkup wilayah yang sangat luas sampai ke Malaysia dan Singapura. Awalnya, hanya ada dua kerajaan besar yaitu Kesultanan Bintan dan Kesultanan Malaka. Pada tahun 1811, dua kesultanan itu melebur dan bersatu menjadi Kesultanan Johor Riau. Seiring dengan berjalannya waktu, masa kolonial pun turut mempengaruhi kesultanan ini. Terjadi perselisihan internal yang berakar dari perebutan warisan dan kekuasaan. Akhirnya, koloni Britania Raya dan Belanda pun ikut campur tangan dalam urusan ini. Hal itu pun memicu lahirnya dua kubu yang menyebabkan kesultanan ini terpecah menjadi dua. Pertama adalah Kesultanan Johor dengan dukungan Britania Raya di belakangnya. Kemudian, Kesultanan Riau Lingga di bawah pengaruh kolonial Belanda. Inilah awal mula terbentuknya Kesultanan Riau Lingga di Pulau Lingga.
Adanya campur tangan kolonial Belanda pastinya memberi pengaruh kuat pada jalannya kesultanan. Sebagai generasi terpelajar, kita semua tahu bahwa penjajahan Belanda saat itu sangat tragis. Dari bangku sekolah dasar pun kita telah diberi gambaran bagaimana kondisi di masa penjajahan Belanda. Situasi seperti ini sangat memicu terjadinya keruntuhan pada kerajaan-kerajaan di nusantara, salah satunya Kesultanan Riau Lingga. Batin Limat sebagai salah satu orang yang berasal dari Pulau Penyengat, diyakini masyarakat bahwa beliau melarikan diri pada masa penjajahan Belanda. Penjajahan Belanda masa itu menjadi sebuah pertanda awal akan berakhirnya masa Kesultanan Riau Lingga.
Begitulah cerita jejak sejarah di Pulau Abang. Nenek moyang masyarakat Abang, Batin Limat dan para keturunannya. Masyarakat meyakini bahwa mereka berasal dari Pulau Ranoh yang mana sebelumnya mereka berasal dari Pulau Penyengat, singgasana Yang dipertuan Muda dari Kesultanan Riau Lingga di Pulau Lingga. Sungguh luar biasa, kelurahan kecil bernama Pulau Abang dengan masyarakat nelayannya, ternyata masih ada sangkut pautnya dengan salah satu kesultanan di Kepulauan Riau.
Sebagai orang asing, saya sangat mengagumi jejak-jejak sejarah yang ada di Pulau Abang. Karena nilai sejarah tersebut menjadi identitas masyarakat Pulau Abang, sehingga sudah sepantasnya diulik kembali agar tidak hilang eksistensinya. Cerita ini memang luar biasa, tetapi akan menjadi lebih luar biasa jika terdapat lebih banyak informan yang mengetahui tentang jejak sejarah ini. Saya juga sempat merasa prihatin saat proses penulisan cerita sejarah ini. Alasan utamanya karena tidak ada informan yang bisa menceritakan lebih detail terkait nenek moyang Pulau Abang. Selain itu, referensi di media internet tentang Pulau Abang pun juga masih minim. Hal ini juga memperlihatkan bahwa budaya tutur-tinular atau cerita turun-temurun kurang diperhatikan oleh masyarakat, sehingga banyak generasi muda yang tidak tahu cerita sejarah yang menjadi asal-usul identitas mereka.
Dengan demikian, hendaknya masyarakat Pulau Abang dari semua kalangan usia mulai peduli dengan cerita-cerita masa lalu dan menuturkannya kepada para keturunannya. Pepatah juga mengatakan bahwa pengalaman paling berharga. Begitu juga dengan pengalaman-pengalaman para terdahulu tentunya sangat berharga untuk pembelajaran di masa depan. Selain itu, hal ini dapat membantu serta mempermudah berbagai pihak terutama yang berkaitan dengan perkembangan pembangunan di Pulau Abang, baik pembangunan sosial masyarakat atau infrastruktur dan bangunan. Di samping itu, Pulau Abang juga sangat membutuhkan peran generasi mudanya untuk lebih peduli dengan lingkungannya sebagai salah satu upaya pembangunan berkelanjutan dari tingkat lokal.