Cita Rasa Kuliner Pulau Abang
"Kruyuk… kruyuk…", bunyi perut saya terdengar sejak kapal pompong tiba di pelabuhan umum Pulau Abang. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB dan saya bersama teman-teman KKN menuju kantor kelurahan untuk acara penyambutan. Di lokasi sudah ada Pak Zainal sekretaris lurah, Pak Effendi ketua LSM, dan Bu Kamisah ibu asuh yang rumahnya menjadi tempat kami menginap. Acara usai pada pukul 14.30 dan kami pun diajak menuju rumah pondokan. Laki-laki di homestay dan perempuan di rumah Bu Kamisah. Sejak awal kedatangan kami, anak-anak sangat antusias menyambut kami. Dari kami turun kapal sampai ke rumah pondokan, mereka pun mengikuti. Anak-anak sudah duduk berjajar rapi di ruang tamu ketika saya memasuki rumah. Rupanya teman-teman saya sedang melakukan sesi perkenalan dengan anak-anak itu.
Setelah meletakkan barang-barang ke dalam kamar, Bu Kamisah memanggil kami dan menyuruh makan. Kami pun segera keluar dan duduk melingkar. Bu Kamisah datang dengan membawa satu kantong plastik berisikan kotak-kotak nasi. "Wah, akhirnya makan. Kira-kira menu pertama makan di Pulau Abang apa ya?", batin saya dengan perasaan bahagia karena sudah tidak kuasa menahan lapar. Setelah masing-masing anak mendapat bagian nasi kotak, saya pun tidak sabar untuk membukanya. Kotak dipenuhi oleh nasi putih dan ikan tenggiri di atasnya. "Yummy… nasi gurih dan sambal di ikan tenggirinya sangat pas", ucap saya setelah mencicipi. Menu pertama di Pulau Abang adalah nasi lemak. Meskipun ada beberapa rekan saya yang langsung nyeletuk "wah nasi uduk, enak sekali". Karena memang keduanya hampir mirip, cita rasa nasi gurih ala Melayu dan Jawa.
Datang dari Jawa dan menetap di wilayah Melayu selama kurang lebih dua bulan, harus bisa menyesuaikan diri untuk bertahan hidup. Salah satunya, dengan makanan-makanan khas Melayu untuk konsumsi sehari-hari. Jika di Jawa terbiasa dengan makanan pedas manis dan asin, di tanah Melayu ini lebih kaya rempah di setiap masakannya. Rasa yang dominan adalah asam pedas, asin, pekatnya bumbu rempah, dan gurihnya santan. Satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah seafood, karena ini wilayah masyarakat nelayan. Sebelum ke Pulau Abang, saya dan teman-teman sudah diberi tahu bahwa lauk keseharian di sini adalah ikan. Hasil laut seperti sajian wajib di setiap meja makan. Bukan berarti di sini tidak ada sayur, hanya saja sulit didapat dan harga yang relatif lebih mahal.
Perbedaan cita rasa ini menjadi satu hal menarik yang harus didokumentasikan. Mengulang pepatah bahwasanya pengalaman adalah sesuatu yang sangat berharga, tulisan ini berisi cerita pengalaman selama menetap di Pulau Abang. Tentunya terkait cita rasa masakan melayu yang sangat berbeda dengan cita rasa masakan Jawa. Rasa baru pastinya memberi kesan baru, pikir saya. Kesan pertama menyantap hidangan di sini adalah gurihnya santan dan pekatnya rempah yang mendominasi bagian indra pengecap saya. Karena banyak sekali hidangan yang saya rasakan, dan waktu yang begitu singkat sehingga tidak bisa menelusuri setiap detail pengolahan masakan-masakan itu, maka saya hanya membagikan beberapa cita rasa kuliner melayu berdasarkan pengalaman.
Makanan khas pertama saya jumpai ketika berkunjung ke rumah Bu RT 1 atau Bu Neneng adalah kerupuk telur cumi. Kerupuk dengan bentuk kecil-kecil seperti bistik berwarna putih memenuhi satu toples besar. “Coba cicipi ini, kerupuk telur cumi yang saya coba buat sendiri”, kata Bu RT ketika menyuruh saya mencicipi kerupuk itu. Wah, tentu saja saya terheran. Karena biasanya memakan kerupuk udang, ternyata telur cumi juga bisa diolah menjadi kerupuk. Wujud telur cumi saja saya belum pernah melihatnya sendiri secara langsung. Bu RT menerangkan bahwa telur cumi berbentuk bulat-bulat kecil berwarna putih, tekstur dan bentuknya seperti biji selasih. Masyarakat Pulau Abang biasa menyebutnya ‘telur nos’.
Telur cumi diolah dengan campuran telur ayam, tepung tapioka, dan kaldu. Biasanya Bu Neneng hanya menggunakan dua butir telur ayam sebagai bahan campuran. Karena jika kebanyakan telur ayam juga akan mengubah cita rasa khas telur cuminya. Tepung tapioka yang digunakan secukupnya. Rasa gurih itu hanya berasal dari kaldu dan sedikit garam. Setelah semua bahan selesai diuleni dan tercampur rata, tinggal di bentuk-bentuk kemudian digoreng. Karena ini makanan kering, jadi bisa tahan sampai beberapa bulan.
Kerupuk telur cumi adalah salah satu makanan yang baru saya jumpai di Pulau Abang. Tidak banyak yang memproduksi ini, kira-kira hanya kurang dari sepuluh rumah tangga saja. Telur cumi ini dijual sepuluh ribu per bungkus. Jika sudah menjadi kerupuk, ada yang dijual eceran dua ribu atau lima ribu di warung-warung kecil. Harga per kilo rata-rata 50-70 ribu atau tergantung tempat pemasaran. Biasanya, produk ini mendapat permintaan dari Batam atau Singapura. Namun sayang, kerupuk ini tidak bisa diproduksi terus-menerus karena telur cumi bersifat musiman. Biasanya, sekitar bulan dua sampai tiga.
Saya mengobrol banyak dengan Bu Neneng tentang kuliner di Pulau Abang ini. Tidak hanya kerupuk telur cumi yang menjadi makanan khas. Masih banyak masakan-masakan tradisional dengan cita rasa melayu di sini. “Masakan Pulau Abang biasanya gulai asam pedas, gulai lemak, gulai tumis, cumi masak hitam. Hampir semua masyarakat di sini suka masakan asam. Setiap memasak menggunakan asam sebagai bumbunya. Yang tidak pakai asam, misalnya pajeri. Karena sudah asam dari bahan bakunya, yaitu nanas. Biasanya disajikan saat acara-acara besar seperti pernikahan dan hajatan”, ujar Bu Neneng menerangkan cita rasa orang melayu di Pulau Abang.
Berawal dari obrolan dengan Bu Neneng, saya jadi berpikir dan me-recall ulang apa yang saya makan selama di sini. Nama-nama makanan yang disebutkan Bu Neneng sudah pernah saya cicipi semua. Bu Kamisah, ibu asuh dan juga seseorang yang memasakkan anak-anak KKN di rumahnya, sering memasak gulai asam pedas, gulai tumis, dan gulai lemak. Gulai asam pedas berwarna merah dan rasa asam pedas asin begitu pekat. Untuk memasak ini, bumbu-bumbu tidak ditumis. Lain halnya dengan gulai tumis. Gulai lemak didominasi oleh gurih dan kentalnya santan, dengan aroma kunyit. Hampir semua masakan ini memiliki rasa rempah yang pekat. Apapun masakannya, ikan selalu menjadi bahan utamanya. Tak jarang pula saya menemui ikan teri di setiap masakan. Sepertinya ikan teri telah menjadi bumbu wajib di setiap masakan di sini.
Satu masakan yang menurut saya tak kalah menarik adalah ketan kuning atau biasa disebut pulut kuning oleh masyarakat. Jika biasanya makan nasi ketan putih dicampur gula jawa, atau ditumbuk sampai pulen, atau digoreng, atau dibuat wajik, kali ini khas melayu mengenalkan rasa baru bagi lidah saya. Ketan berwarna kuning ini di masak dengan campuran santan, kunyit, dan garam. Beras ketan dikukus hingga setengah matang. Setelah itu, diangkat kemudian dicampur dengan campuran santan kental dan kunyit parut juga garam. Setelah itu dikukus kembali hingga matang. Setelah matang, penyajiannya dilengkapi dengan masakan ayam seperti rendang atau ayam rempah.
Saya menemui makanan ini ketika di acara pernikahan salah satu warga di Pulau Abang. Saya mengikuti proses pembuatan ketan ini dari awal sampai akhir. Meskipun tidak banyak membantu, karena banyak sekali orang yang bergotong royong untuk memasak, tetapi saya mengamati dengan detail setiap proses pengolahan makanan ini. Alasan utamanya karena ini adalah masakan unik yang baru saya temui di sini.
Begitulah cita rasa melayu di Pulau Abang. Meskipun sangat berbeda dengan cita rasa jawa, ciri khas masakan melayu ini memberikan kesan yang menarik. Tentunya memberikan wajah baru dari salah satu deretan kuliner nusantara dari sekian banyaknya keberagaman.