Menyusuri Lingkungan Pulau Abang
Pulau Abang Kecil adalah sebuah pulau kecil di Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Disebut Pulau Abang Kecil karena kondisi geografisnya sangat mirip dengan Pulau Abang Besar, hanya saja ukurannya lebih kecil. Satu pulau kecil ini menjadi satu kelurahan bernama Kelurahan Pulau Abang. Kemudian terbagi lagi menjadi dua, yaitu Kelurahan Pulau Abang di RW 1 dan Desa Air Saga di RW 2.
Datang ke pulau ini merupakan pengalaman baru bagi saya dan teman-teman satu Tim KKN-PPM UGM periode 2 tahun 2023 ini. Awalnya, saya tidak mengira bahwa pemukiman warga Pulau Abang benar-benar di atas air laut. Saya kira masyarakat di sini pemukimannya masih di daratan. Ternyata, ini benar-benar masyarakat pesisir yang tinggal di pesisir. Hal ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Lantas, saya pun semakin bertanya-tanya bagaimana keseharian masyarakat di sini. Mulai dari suku, bahasa, budaya, kehidupan sosial, dan lingkungan sudah pasti sangat berbeda dengan masyarakat Jawa.
Saya lihat rumah-rumah panggung di atas perairan laut Pulau Abang dari kejauhan. "Waahh pemukiman penduduk di atas air", batin saya dengan sedikit terheran karena ini pertama kalinya datang langsung dan menetap di pemukiman seperti itu. Dari kejauhan, rumah-rumah itu berjajar rapi dan hampir tak terlihat adanya jalan.
Saya semakin tertegun ketika mulai berjalan menyusuri kampung. Pondasi-pondasi kayu tetap bertahan menopang rumah meski terlihat sudah tua termakan waktu. Kayu-kayu dengan diameter sekitar 15-20 cm bisa kuat menahan satu rumah beserta penghuninya. Entah seberapa dalam kayu itu tertancap di tanah pesisir yang tergenang air laut itu. Seketika saya teringat pepatah "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing". Meskipun mereka hanya kayu-kayu pondasi, saya rasa pepatah itu berlaku juga untuk mereka.
Selain susunan rumah-rumah dan jalanan selebar satu meter yang biasa disebut "pelantar" oleh masyarakat, satu hal wajib dimiliki adalah kapal-kapal speedboat yang terparkir di samping rumah. Hampir setiap rumah memiliki minimal satu kapal untuk mencari ikan. Lain halnya dengan masyarakat kota yang menggunakan motor atau mobil untuk bermobilitas, masyarakat Pulau Abang menggunakan kapal kecil yang disebut "pompong". Jika pun ada yang memiliki motor, jumlah pemiliknya bisa dihitung jari. Yeah…. Ini adalah lingkungan masyarakat nelayan Pulau Abang. Semua penduduknya sangat bergantung pada hasil laut untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Karena saya menetap di rumah Pak Jamal, di lantai 2, setiap hari disajikan pemandangan laut dan gugusan pulau lain yang sedikit terlihat wajahnya. Setiap pagi saya melihat matahari terbit dari teras rumah, golden sunrise terlihat menawan. Semakin tinggi matahari menampakkan wajahnya, semakin terlihat indahnya biru laut. Mesin-mesin speedboat mulai dinyalakan dan berlalu-lalang di perairan Pulau Abang. "Begitulah orang-orang bermobilitas di sini", batin saya. Semua keindahan itu dapat dinikmati ketika cuaca cerah. Karena tak jarang pula air laut surut sehingga beberapa nelayan yang kapalnya terdampar tidak bisa pergi melaut. Mereka harus menunggu air laut pasang.
Jika di sebelah timur terlihat indahnya laut, maka di sebelah barat terdapat bukit dengan vegetasi lebat. Hijaunya rimbunan pohon sebagai pemasok oksigen di pulau ini. Wilayah Pulau Abang Kecil terbagi menjadi tiga area. Area pertama, adalah pemukiman warga yang telah terbagi menjadi dua RW yaitu Pulau Abang dan Air Saga. Pemukiman warga di Pulau Abang Kecil terfokus di area pesisir. Meskipun ada yang di darat pun bisa dihitung jari. Area kedua adalah area tengah berupa bukit yang didominasi oleh pepohonan tahunan. Banyak pohon-pohon besar berjajar dari ujung ke ujung. Kemudian, area ketiga adalah daerah pantai-pantai yang jauh dari pemukiman sehingga dimanfaatkan untuk rekreasi oleh masyarakat setempat maupun masyarakat di luar pulau.
Berbicara mengenai area bukit, saya teringat ketika berjalan-jalan menyusuri daerah sana. Matahari bersinar terik dan langit tampak gagah dengan warna biru terangnya. Saya dan teman-teman berjalan naik dari jalan di belakang masjid. Di situ terdapat jalan selebar jalan setapak yang sudah di cor blok. Ketika memasuki area itu, hawa sejuk pun menyapa tubuh. Mungkin karena biasanya melihat laut di area pesisir sehingga jarang untuk sekedar berteduh di bawah pohon. Pohon-pohon tahunan menjulang tinggi di sisi kanan-kiri. Tak jarang pula terlihat pohon-pohon buah. Kami di antar oleh tiga anak kecil warga lokal. Setelah sampai di pertigaan, kami diajak melewati jalur kiri, anak-anak beralasan karena di jalur kanan terdapat anjing-anjing galak. Setelah berjalan beberapa meter, di ujung jalan ini ternyata terdapat PAM dan bendungan besar sebagai sumber utama Pulau Abang untuk keperluan mandi dan mencuci. Untuk kebutuhan air minum, warga memanfaatkan air sumur.
Setelah melihat-lihat area bendungan, kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri saluran air yang berakhir di bendungan tersebut. Hamparan rumput luas membuat suasana seakan-akan kami sedang menyusuri padang rumput versi mini. Di kejauhan terlihat pohon-pohon kelapa berjajar rapi dan menjulang tinggi. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di komplek pohon kelapa itu. Karena kami berniat untuk kembali ke rumah pondokan, maka kami pun berputar arah dan mengambil jalan lain. Jalanan di dekat kompleks kebun kelapa itu. Rumput-rumput semakin lebat dan lebih menyerupai padang rumput dibandingkan yang tadi kami temui.
Saya melihat terdapat kebun sayur yang baru ditanami cabe, tomat, dan semangka. Di area kebun itu terdapat satu rumah panggung. Saya pun menghampiri rumah itu yang kebetulan ada seorang bapak di teras rumah, untuk menjawab rasa penasaran. Saya pun menyapa beliau, sebelum akhirnya beliau mempersilahkan saya dan teman-teman untuk singgah sebentar sebelum kembali ke rumah pondokan. Kemudian, kami pun mengobrol santai dengan bapak itu. Seorang bapak yang biasa disapa "Pakdhe" di Pulau Abang. Beliau tinggal bersama istrinya, "Budhe". Sapaan itu diberikan masyarakat sekitar karena mereka berasal dari Jawa.
Saya terheran karena hanya Pakdhe dan Budhe yang tinggal di daerah bukit. Seperti sebagian besar orang Jawa, mereka bermata pencaharian sebagai petani dengan memanfaatkan lahan yang ada. Mereka berkebun dengan menanam sayuran, kemudian dijual di masyarakat sekitar. Pakdhe dan Budhe juga memiliki kebun kelapa. Ternyata, barisan pohon kelapa itu semuanya milik Pakdhe. Selain berkebun, Pakdhe dan Budhe melakukan usaha ternak kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di samping rumah, hanya berjarak beberapa meter, terdapat kolam lele. Di sekitar rumah juga berkeliaran hewan-hewan unggas seperti ayam dan entok. Selain itu, mereka juga memiliki anjing sebagai penjaga area perkebunan. Ternyata, anjing-anjing galak yang dibicarakan anak-anak tadi adalah milik Pakdhe dan Budhe.
Kami mengobrol dengan bahasa Jawa. Mereka terlihat sangat senang dengan kedatangan kami, ditambah lagi fakta bahwa kami orang Jawa. Pakdhe dan Budhe seketika kembali ke budaya Jawa mereka, minimal berbicara dengan bahasa Jawa. Selain menyambut dengan ekspresi riang gembira, tiba-tiba Pakdhe membawakan kami kelapa-kelapa muda. Waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB dan kami pun berniat untuk kembali ke rumah pondokan. Kami pun berpamitan setelah meminum air kelapa muda yang diberikan Pakdhe. Dan lagi-lagi ternyata sudah ada jalan cor blok yang menghubungkan rumah Pakdhe dengan pemukiman warga di RT 2 lainnya. Kesan pertama saat mengetahui keberadaan rumah Pakdhe beserta kesehariannya, "sekelumit kehidupan lain di Pulau Abang", batin saya.
Pulau seindah ini sudah semestinya dijaga kelestariannya. Namun sayang, pulau ini masih memiliki permasalahan terkait sampah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Saya teringat ketika pertama kali sampai di tempat ini. Seorang anak kecil berjalan dari pelabuhan menuju area perkampungan dengan jajan di tangannya. Ya, anak itu berjalan sambil menikmati jajannya. "Wushh", suara sampah melayang di udara sebelum akhirnya masuk dan tergenang di air laut area pemukiman. Hal itulah yang membuat saya terkejut. Ketika di kota sudah banyak demo lingkungan salah satunya melarang membuang sampah sembarangan, dan hal itu sudah menjadi komitmen semua kalangan khususnya kaum pelajar. Lain halnya di sini, anak-anak seakan tidak memiliki rasa bersalah ketika membuang sampah sembarangan.
Suatu hari, saya bertanya kepada ibu asuh tentang tempat pembuangan sampah. “Kalau masyarakat di sini biasanya membuang sampah organik ke laut tidak apa-apa. Kalau sampah anorganik seperti plastik, kami kumpulkan kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir di belakang-belakang rumah warga di area bukit. Setelah itu, kami bakar sampahnya jika sudah menumpuk”, terang ibu asuh kepada saya.
Berbicara masalah sampah di Pulau Abang, saya juga pernah mengobrol dengan Pak Hanafi, salah satu staf kelurahan. Beliau menjelaskan bahwasannya pernah mengolah sampah-sampah plastik di Pulau Abang menjadi paving block. Pada saat produksi itu, banyak sekali permintaan baik dari masyarakat Pulau Abang atau dari luar untuk membeli paving block. Namun, seiring berjalannya waktu kegiatan produksi itu lambat laun menurun dan berhenti beroperasi sampai saat ini. Alasan utamanya adalah proses produksi yang mengharuskan melakukan pembakaran besar-besaran. Selain menyebabkan polusi, sebagian besar masyarakat di sini tidak tahan oleh hawa panas yang dihasilkan dari proses pembakaran tersebut.
Saya teringat ketika berjalan menyusuri jalan dari RT 1 sampai RT 4 Pulau Abang. Rumah-rumah panggung berjajar di sebelah kiri dan beberapa bangunan rumah biasa di sebelah kanan karena posisinya di darat. Ketika saya mengamati, setiap RT terdapat slogan “Hari ini harus bersih, besok boleh kotor”. Slogan yang mengandung energi positif, menurut saya. Namun, saya lihat di bawah-bawah rumah panggung warga banyak sampah terdampar. Saya pun penasaran dari mana sampah-sampah itu berasal. Karena selain sampah organik, masih banyak sampah-sampah plastik yang tergenang di perairan pesisir Pulau Abang. Saya pun berusaha mencari jawaban atas rasa penasaran itu.
Dengan demikian, permasalahan sampah di Pulau Abang yang belum terselesaikan ini juga berakar dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan. Meskipun tidak semua masyarakat demikian, karena sudah banyak masyarakat yang tergerak hatinya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Menurut saya, hal ini pun turut mempengaruhi mindset anak-anak yang masih acuh terhadap lingkungan terutama membuang sampah pada tempatnya. Karena sudah menjadi kebiasaan, hal itu pun susah untuk diubah dan orang-orang dewasa kesulitan untuk menghandle perilaku anak-anak tersebut. Ditambah lagi kondisi lingkungan sekitar khususnya perairan pesisir area pemukiman yang masih banyak sampah anorganik.
Maka dari itu, perlu dilakukan sebuah gerakan atau perlakuan khusus sebagai solusi dari permasalahan sampah di Pulau Abang. Sudah seharusnya pemerintah Kota Batam turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini. Baik itu bantuan sistem pengelolaan sampah maupun pembangunan infrastruktur terkait fasilitas tempat pembuangan akhir sekaligus pengolahan limbah agar masalah sampah segera teratasi. Di samping itu, masyarakat Pulau Abang juga harus sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan. Jika semua warga masyarakat menjaga kebersihan, akan tercipta lingkungan yang bersih, sehat, dan nyaman.
“Jika tidak mau membersihkan lingkungan, jangan mengotori lingkungan”, pesan dari Pak Rahmad selaku anggota DPRD Kota Batam yang menjadi wakil dari Kelurahan Pulau Abang ini. Hal itu karena jika masyarakat membuang sampah ke laut, tentu hal itu membahayakan ekosistem laut. Jika terumbu karang rusak pun berdampak pada hasil tangkapan nelayan karena jumlah ikan juga turut berkurang.
Begitulah cerita perjalanan saya bersama rekan-rekan Tim KKN-PPM UGM periode 2 tahun 2023 terkait lingkungan Pulau Abang. Pepatah mengatakan bahwa “lingkungan yang sehat adalah lingkungan yang bersih dan nyaman”. Pulau Abang Kecil sebagai Bunakennya Indonesia bagian barat akan menjadi desa wisata bahari yang berkelanjutan, disertai kelestarian lingkungan yang selalu terjaga kebersihannya.